Posts tagged ‘amerika’

Peti Jenazah dari Amerika

Sebuah keluarga di sebuah Provinsi Yunan, dibingungkan saat peti jenazah dari nenek mereka tiba dari Amerika. Peti itu dikirimkan oleh salah satu sepupu mereka di sana .

Jenazah nenek mereka nampak sangat terhimpit di dalam peti dan tidak ada ruang lagi yang tersisa. Saat mereka membuka tutup peti jenazah itu, mereka menemukan sebuah surat di atasnya dan isinya adalah sebagai berikut : Sepupuku yang terkasih, Bersama ini aku kirimkan tubuh nenek karena dia ingin untuk dikremasikan di tanah leluhur kita di Tung Shin.

Maaf aku tidak bisa datang karena gajiku sudah tidak bersisa lagi. Kalian akan menemukan di dalam peti, di bawah tubuh nenek, 12 Kantong M&M, 10 kantong coklat Swiss! Dan beberapa kantong Keju Cheddar. Itu semua untuk kalian, dibagi rata, ya!

Di kaki nenek, kalian akan menemukan sepasang sepatu Nike Air (ukurannya 10) untuk Ah Cu. Juga ada 2 pasang sepatu untuk Ah Mei dan Ah Lien. Semoga ukurannya cocok.

Nenek memakai 6 buah T-Shirt CK (Calvin Klein). Yang ukurannya besar untuk Ah Bak dan yang lain untuk para keponakan. Kalian pilih sendiri yang mana. 2 buah celana jeans Armani yang nenek pakai adalah untuk anak-anak. Jam tangan Rolex yang selama ini Lee Ah Bai inginkan ada di tangan kiri nenek.

Untuk bibi Pei Pei , nenek mengenakan kalung, cincin dan anting merk Tiffany yang selama ini engkau inginkan. Itu semua untukmu. Juga ada wig di kepala nenek sebanyak 12 buah. Bagikan kepada semua saudara sepupu perempuan. Ada 6 buah kaos kaki Polo yang dipakai nenek dibagi juga untuk para sepupu.

Untuk A Siong, notebook IBM yang kau pesan ada dibalik bantal kepala nenek. Pergunakanlah untuk studimu Jangan lupa, beritahu aku apa lagi yang kalian butuhkan karena kakek akhir-akhir ini juga memburuk kesehatannya. .. aku dapat mengirimkan semua itu saat kakek kita kembali ke sana juga.

Salam manis,
Dari sepupumu di Amerika

November 17, 2008 at 10:16 am Tinggalkan komentar

Krisis Subprime di Amerika Serikat ~Kalau Langit Masih Kurang Tinggi~

Oleh: Dahlan Iskan

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya ”menceritakan” secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti juga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka tahu saya bukan dokter. Saya coba:

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.

Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat.

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung.

Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang bisa rugi?

Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara ”membesarkan’ ‘ perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup.

Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi: harus computerized!

Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya.

Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah?

Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut ”Deregulasi Kontrol Moneter”. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.

Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski tidak sama).

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya ”jalan baru” pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada lagi ”jalan baru” yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986.

Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau Denmark , gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Kata ”mortgage” berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers?

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ”para pelaku bisnis keuangan” sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.

Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ”bank jenis lain” yang disebut investment banking.

Apakah investment banking itu bank?

Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ”hanya mirip” bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal: menerima macam-macam ”deposito” dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi  adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ”personal banking”.

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana , saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.

Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar. Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang ”menabung” – kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana . Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.(*)

Oktober 14, 2008 at 11:33 am Tinggalkan komentar

Tuhan memanggil presiden tiga negara

Tuhan memanggil presiden tiga negara, AS, Cina, dan Indonesia untuk dimarahi. Dari Amerika muncul George Bush.
Dari Cina datang Presiden Hu Jintao.
Dari Indonesia diutus Jusuf Kalla. SBY nggak berani soalnya.

Setelah habis-habisan mencela tindakan pemimpin dunia ini,
Tuhan menyampaikan bahwa Ia sudah muak dan memutuskan dalam
tiga hari dunia akan kiamat.
Tiga pemimpin ini disuruh kembali ke negaranya untuk menyampaikan keputusan Tuhan kepada rakyat mereka masing.

Ketiga pemimpin pulang ke negara masing-masing sambil putar otak, bagaimana menyampaikan kabar buruk ini kepada rakyatnya.

Di depan Kongres Amerika dan disiarkan langsung di TV,
presiden Bush mencoba, “Congressmen, ada kabar baik
dan ada kabar buruk. Pertama kabar baik dulu ya. Tuhan itu
benar-benar ada, seperti yang kita yakini. Kabar buruk:
Tuhan akan memusnahkan dunia ini dalam tiga hari”.

Hasilnya payah, terjadi kerusuhan dan penjarahan dimana-mana.

Di depan Kongres Partai Komunis Cina, Hu Jintao
memodifikasi taktik Bush, “Kamerad, ada kabar baik dan
ada kabar buruk. Pertama kabar baik dulu ya. Ternyata Marx,
Stalin, Ketua Mao, dan para pendahulu kita salah, Tuhan itu
benar-benar ada. Kabar buruk: Tiga hari lagi Tuhan akan
mengkiamatkan dunia ini.”.

Hasilnya lumayan, orang-orang Cina lari, heboh dan menangis
ketakutan dan membanjiri tempat ibadah, mau bertobat.

Yang paling sukses Jusuf Kalla.

Di depan sidang paripurna DPR yang disiarkan langsung, ia
tersenyum sumringah. “Saudara sebangsa dan setanah air, saya membawa dua kabar baik.
Kabar baik pertama: Sila pertama Pancasila kita sudah benar, Tuhan itu benar-benar ada.
Kabar baik kedua: dalam tiga hari semua masalah energi, pangan, kemiskinan, terorisme, dan penderitaan di Indonesia akan segera berakhir..”

Sukses besar!!! seluruh rakyat larut dalam pesta dangdutan dan pawai di mana-mana.

Agustus 12, 2008 at 1:54 pm Tinggalkan komentar

AMERIKA DIAMBANG KEBANGKRUTAN

Dulu rata rata kita menduga kalau alasan Amerika berperang ke Iraq ini karena:

1.       Amerika ingin menghancurkan Islam;

2.        Amerika ingin melibas terorisme;

3.       Amerika itu memang bandit

4.       Bush mau dendam secara pribadi kepada Saddam yang dulu gagal dihancurkan Bapaknya Bush Senior.

5.       Ini ulahnya Yahudi [intelektual kriminal Perle & Wolfowitz ] yang saat itu jadi penasehat utamanya Bush.

6.       Ini perang buat menguasai minyaknya Iraq …

7.       Dan variasi variasi lainnya.

Kini terbukti semua pandangan itu tidak 100% salah tapi juga “salah” karena itu semuanya cuma masalah kecilnya saja. Semua dugaan kita Itu semuanya tidak menjelaskan alasan utamanya perang Iraq ini dari sudut pandang si Amerika sendiri. Karena, tujuan paling utama dari perang Iraq ini adalah:

Menyelamatkan dollar dari Euro.

Di mata Amerika yang dulu menghadiahkan rezim Suharto ke Indonesia, dosa Iraq yang terbesar adalah ketika Iraq [Saddam] tahun 2000 lalu minta ke PBB supaya semua minyaknya dibayar menggunakan euro; plus semua uang milik Irak [$10 bilyun] dikonversikan ke euro dari dollar. Dulu semua orang bilang kalau itu ide Saddam ini tindakan bodoh karena euro waktu itu masih 90% dari nilai dollar dan euro pun dari sejak dikeluarkan [Januari 1999] terus menerus terdepresiasi lawan dollar yang waktu itu demand (permintaan) nya memang kuat sekali karena penipuan akuntasi besar besaran sedang terjadi di bursa efeknya — dan investor asing juga perlu dollar untuk main di bursanya. Tapi, sekarang ini euro ternyata sudah terapresiasi sebesar hampir 100% dari harga sebelumnya ! Berarti apa, langkah “gilanya” Saddam tahun 2000 dulu itu ternyata sangat menguntungkan dan bahkan jenius !

Langkah ini pula yang sekarang sedang dikaji oleh Iran yang cuma mau menerima transaksi minyak dengan euro dan menolak dollar. Dan di dunia ini, kartel perdagangan yang terkuat ya cuma minyak saja. Kartel mobil, atau komputer, atau produk produk lain praktis tidak eksis. Minyak — siapapun harus beli minyak.

Terus perhatikan lagi, anggota OPEC itu rata rata isinya adalah musuh-musuh Amerika yang nyata nyata memang benci kepada Amerika. Kalau saja semua anggota kartel minyak ini memang mau “jahat” dan main “evil” terhadap Amerika, maka caranya gampang sekali: mereka cukup bilang, kita sekarang cuman mau transaksi pake euro dan selesailah dollarnya Amerika! Bangkrut serta kiamat jugalah si kapitalis Amerika ini ! Kita yang tidak punya background ekonomi mungkin bingung. Koq bisa bangkrut ?

Orang yang bisa hitung hitungan ekonomi bisa menjelaskan begini, Kalau kita punya uang tunai $1, di tangan, maka secara ekonomi itu artinya adalah Anda memberi hutang ke Bank Federalnya Amerika dan Bank Federalnya Amerika itu “berjanji” akan membayar hutangnya sebesar $1 itu !. Sekarang, karena kita tinggal di Indonesia yang rupiahnya sangat parah itu; maka jelas secara rasional kita berusaha terus memegang $1 ditangan itu dari pada ditukar ke rupiah. bukan begitu !

Jadi, secara ekonomi itu artinya Bank Federal Amerika tidak perlu menebus hutangnya karena hutangnya yang $1 itu tidak kita minta untuk dibayar. Artinya: Amerika itu bisa berhutang tanpa perlu bayar sama sekali — [sepanjang ekonominya memang masih kuat !] sepanjang greenback atau dollar itu masih jadi standard pengganti emas.

Dengan alasan inilah makanya Amerika itu berani main defisit gila gilaan selama ini karena toh mereka MEMANG tidak perlu membayar defisitnya sebab orang sedunialah yang harus membayar defisitnya Amerika itu !

Supaya jelas mari kita lihat rupiah; kalau budget RI itu defisit maka negara Republik Indonesia ini harus nombok dengan cara menjual barang [eksport] atau mencari utangan [CGI]. jadi, defisitnya negara seperti Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ini betul-betul adalah “defisit” yang harus dibayar, yang kalau tidak bisa bayar ya seperti yang kita alami pada tahun 1997 yang sampai sekarang juga belum pulih yaitu KRISMON ! Tapi Amerika lain! Defisit buat Amerika berarti justru malah positif karena defisit Amerika itu cara bayarnya adalah dengan cara memotong nilai $1 yang kita pegang itu secara intristik. Berarti . . kalau Amerika defisit maka yang rugi adalah kita orang non-Amerika yang pegang dollar ! Cara kerja sistem ekonomi kapitalis yang imperialistik ini berlaku sepanjang orang seperti kita dan negara Republik Indonesia itu masih “percaya” dengan dollar dan menyimpan cadangan devisanya dalam bentuk dollar !

Eropa tahu persis tentang strategi makan gratis dan utang tidak perlu bayar ini. Karena itulah Eropa sekarang punya euro. Tujuannya Euro sebetulnya ya cuma satu itu: ikut menikmati utang gratisan dari orang orang seperti kita tadi.

Dan saudara saudara sekalian yang paling mengerikan buat amerika yang diambang kiamat itu apa ? itu adalah kenyataan bahwa 80% US $ itu ada diluar negeri ya ditangan negara negara seperti Indonesia ini, Cina, Jepang , India dan negara negara asia lainnya . Apa arti situasi begini bagi AMERIKA ? ya seperti saya tadi bilang…, KALAU mendadak saja semua negara penghasil minyak bilang ” sekarang kita transaksi cuman pake euro” ! Dan ini mungkin sekali terjadi karena semua negara perlu beli minyak ! Sehingga tekanan dari negara penghasil minyak itu bakal membuat negara-negara seperti Cina atau Jepang menjual dollarnya dan beli euro.

Semuanya HEGEMONI Amerika dalam sekejap akan berantakan dan ini artinya apa ?…KIAMAT. Sebab kalau ini terjadi ini artinya sama saja dengan semua negara negara pemegang US $ itu bilang…Amerika sekarang kamu harus bayar utang ! Dan tentu saja: kalau dalam sekejap Amerika pun harus membayar hutangnya dan mendongkrak Euro tadi, dalam sekejap pula ekonomi Amerika bangkrut berantakan persis seperti waktu bank dalam negeri di rush nasabahnya jaman krismon dulu. Dan lebih mengerikan lagi, ekonomi Amerika pun bisa dalam sedetik bakal inflasi ribuan persen [karena semua orang menjual dollar dan membeli euro], perusahaan Amerika menjadi tidak ada harganya [persis seperti krismon di Indonesia tahun 1998 dulu] dan ajaibnya lagi — orang Amerika pun tiba tiba jadi persis sama dengan orang orang miskin dari Afrika sana karena mendadak saja semua kekayaan mereka itu cuma kertas tidak ada harganya. dan lebih sial lagi…, dengan bangkrutnya dollar praktis cuma Amerika bakal bangkrut sendirian, negara negara lain tidak ikut bangkrut karena ada Euro yang bisa menjadi penyelamatnya !

Bila anda menentang invasi AS ke iraq , dan anda belum bisa ikut terjun perang membela rakyat Iraq , atau anda belum punya cukup donasi untuk membantu rakyat iraq , cukup anda segera lepas simpanan US $ anda atau ditukar dng Euro, atau anda sebarkan email ini seluas luasnya !!

Mei 29, 2008 at 8:12 am 2 komentar

Jilbab Di Pelukan Bendera Amerika

Oct 19, ’07 12:42 PM
for everyone

(Catatan suka-duka dunia kerja di USA)

Menapakkan kaki yang entah ke berapa puluh kalinya di sana – selalu ada rasa itu. Rasa yang sulit untuk dijabarkan seperti ketika membaca tulisan Office of the Immigration Judge tertatah di marmer hitam itu. Marmer dingin itu pernah aku duduki sampai petugas keamanan menghampiriku, melarangku duduk di sana. Tersipu malu ketika menyadarinya, dengan kata maaf kuseret tas kerjaku dan pindah duduk ke kursi taman. Beberapa perahu cantik dengan tenang melintas di sungai besar di tepi gedung pengadilan imigrasi Miami di pojokan One River View Square itu, seolah tak perduli pada sibuknya wajah-wajah lalu lalang yang silih berganti melewati pintu penjagaan. Wajah-wajah itu tak beda banyak dengan wajahku, berkulit coklat hangat – juga seperti kulitku. Wajah-wajah Hispanic seperti wajah-wajah anak negeriku itu terasa begitu dekat di hati.

Kuhabiskan Cuban coffee yang kubeli dari café di dalam ruang tunggu dan kulirik jam tanganku. Sudah waktunya untuk masuk ke ruang sidang. Di lantai tujuh ada satu ruang besar khusus untuk para penerjemah, tapi setiap aku menengok ke ruangan itu selalu saja gelap dan sepi. Akupun jadi lebih suka menunggu di luar gedung pengadilan di tepian sungai sambil minum kopi khas Miami dan memandangi perahu yang lewat, melamun dan mereka-reka apa kiranya kasus yang akan disidangkan pada hari itu.

Kebanyakan kasus orang Indonesia adalah over stay karena masa berlaku visa yang sudah kadaluwarsa. Banyak orang yang bertahan untuk berada di Amerika sampai melewati batas waktu yang diberikan. Krisis moneter yang menggoncang ibu pertiwi beberapa tahun silam adalah salah satu penyebab utama kenekatan mereka. Banyak yang mati-matian mempertahankan kenyamanan bekerja di negeri Paman Sam ini meski itu secara illegal. Meski itu harus kucing-kucingan dengan FBI dan petugas negara lainnya. Akibatnya, ketika harus duduk di ruang pengadilan imigrasi, sebagian besar dari mereka dideportasi karena melanggar hukum dan aturan yang berlaku di negeri ini.

Untuk menghindari kemungkinan dipulangkan itu, banyak yang meminta suaka politik dengan mengacu pada rentetan tragedi 1998 antara lain pemerkosaan wanita-wanita keturunan Cina, pembakaran gereja-gereja, diskriminasi terhadap kaum minoritas, penembakan mahasiswa universitas Trisakti dan reformasi yang mengawali lengsernya kepemimpinan pemerintah orde baru.

Sementara itu dari sudut Amerika sendiri tragedi 911 telah meluluh lantakkan kepercayaan Amerika pada dunia luar dan khususnya pada negara-negara berbasis Islam. Bila keadaan ini dihubungkan dengan politik luar negeri dan situasi keamanan Indonesia, maka peristiwa pemboman yang beruntun dari bom di Bali, bom di hotel Marriott, bom di kedutaan Australia, dan bom di Bali yang lebih besar lagi – dan entah daftar perilaku kebiadaban yang menewaskan orang tak bersalah yang mana lagi – mengakibatkan negeriku masuk daftar 25 negara yang dicurigai sebagai “sarang” teroris. Sungguh fakta sejarah kelabu negeriku yang menyesakkan hati.

Pemikiranku tentang kekalutan politik Indonesia dan terorisme langsung lenyap ketika mataku tertuju pada kursi di sebelah kursi pengacara. Seorang wanita muda, kurus kecil dan tampak pucat sepucat jilbabnya, duduk di kursi itu. Kepalanya tertunduk memandangi jari-jarinya yang berkaitan satu dengan lainnya. Dari bahasa tubuhnya yang resah dan gelisah, ia kelihatan takut dan tak nyaman duduk di kursi kulit warna merah marun gelap dan berada di ruangan pengadilan yang dingin itu.

“Nama saya Neneng, asal dari Cianjur. Usia tujuhbelas tahun. Orang tua saya miskin dan tidak punya pekerjaan. Waktu saya umur 12 tahun saya dijual oleh orang tua saya kepada tetangga dengan bayaran limapuluh kilogram beras. Lalu saya dibawa ke agen tenaga kerja di Jakarta. Setelah training bahasa Arab dan pekerjaan rumah tangga lainnya saya dikirim ke Arab Saudi untuk menjadi pembantu sebuah keluarga dengan lima anak kecil-kecil. Tadinya saya senang karena saya kira saya akan punya kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Tapi ternyata majikan saya mendapat pekerjaan di sini maka sayapun dibawa ke negeri ini.”

Ruangan hening. Semua pertanyaan dari hakim dijawabnya dengan suaranya yang pelan dan terdengar gemetaran.

“Majikan saya punya adik yang berdekatan apartemennya. Mereka juga punya anak lima yang seusia dengan anak-anak majikan saya. Tiap hari mereka datang ke apartemen kami, dan saya harus mengasuh dan menjaga semuanya. Total sepuluh anak. Kalau ada anak yang berkelahi, jatuh atau terluka, maka saya dipukuli, ditendang, atau ditampar oleh majikan saya. Kadang pakai sepatu, pakai kayu, pakai tangan atau apa saja yang bisa dipukulkan ke badan saya. Kadang anak-anaknya juga memukuli saya, meniru ibunya. Sampai akhirnya saya tidak tahan lagi dan waktu mereka tidur saya lari ke masjid di dekat apartemen mereka.” Suara Neneng putus-putus menahan isak. Sesekali ia mengambil nafas kala suaranya mulai menyesak di lehernya, dan berulangkali mengusap mata basahnya dengan ujung jilbab putihnya.

“Dan di masjid itu kamu bertemu dengan istri bapak ini?” Tanya hakim seraya menunjuk pada seorang lelaki setengah baya, dokter anak dari Mesir – yang duduk di bangku panjang di belakang ruangan, mengikuti jalannya persidangan dengan tenang. “Ya. Dan istri bapak ini membawa saya ke rumahnya, dan sampai sekarang saya tinggal bersama mereka dan belum kembali ke rumah majikan saya. Saya takut kembali ke sana lagi. Saya takut dipukuli lagi. Saya tahu saya salah karena melarikan diri dari rumah majikan saya. Saya mau dihukum penjara, tapi tolong jangan kembalikan saya pada majikan saya.” Tanpa bisa dihentikan, Neneng menangis tergugu. Hakim sesaat terpaku sebelum memberikan waktu istirahat setengah jam, lalu menyelinap ke luar ruang sidang.

Neneng adalah wajah dalam cermin kemiskinan negeriku. Refleksi bayangan ketidakmampuan bangsaku untuk mengayominya dan keluarganya. Ekonomi carut marut negara memaksa anak sebelia itu untuk jadi tenaga kerja di negeri orang. Tanpa digaji, malah disiksa. Ternyata jiwa perbudakan di mana-mana masih juga ada! Pikiran Neneng sangat sederhana. Yang dia tahu orang tuanya sudah melakukan transaksi jual beli atas dirinya. Ada sebersit harapan sewaktu datang ke Arab Saudi untuk bisa menunaikan ibadah haji. Meski seumur hidup hanya sekali. Menginjakkan kakinya di tanah suci adalah hal yang sungguh tak ternilai dalam hidupnya. Dan bila ketidakmengertiannya bahwa kepergiannya ke Arab Saudi itu tak ada hubungannya dengan naik haji karena ia adalah pembantu rumah tangga yang tak punya hak diri, itu tanggung jawab siapa?

Negeriku adalah negeri yang konon bangga dengan jumlah Muslimnya yang terbesar di dunia. Tapi apakah jumlah itu punya daya, mampu memberikan hak dan perlindungan pada anak-anak seperti Neneng dan jutaan Neneng lainnya? Aku tercenung lama dan terbersit tanya, kapan negeriku yang gemah ripah loh jinawi bisa memberikan ketentraman pada anak-anak bangsanya sendiri, sehingga tak perlu mereka mencari dan mengais rejeki di negeri orang. Sebagai anak bangsa Indonesia aku sungguh malu. Tapi sesungguhnya adakah pilihan itu? Andaipun ada, Neneng tak pernah memiliki pilihan itu.

Amerika tak bisa dipungkiri – adalah negara yang dibenci banyak negara lain di dunia. Ia dikutuk! Dihujat! Dimaki! Tapi seiring dengan itu Amerika juga adalah bangsa yang dicintai, perlindungan dan keamanannya dicari, stabilitas ekonominya diingini. Dan dengan seribu satu macam alasan dan tujuan, manusia dari seluruh penjuru dunia berlomba untuk hijrah ke negara ini. Dan rasa yang kulihat di wajah-wajah bertaburan keluar masuk di pintu pengadilan imigrasi itu adalah rasa yang berkecamuk antara harapan untuk menetap, bekerja keras dan berpenghidupan yang lebih baik di Amerika atau harus pulang dan tak tahu kehidupan apa yang menanti di negara asalnya masing-masing.

Kasus Neneng, bukanlah kasus di mana orang yang ketahuan overstay lalu minta suaka dengan merekayasa cerita tentang kebobrokan bangsa atau kebiadaban manusia di tanah air. Kasus Neneng bukanlah kasus di mana dia ingin mendapatkan green card dan visa kerja di Amerika – sementara apa itu green card dan apa itu social security Neneng tak pernah tahu dan dengar. Kasus Neneng, adalah akibat penjajahan kemiskinan dan kebodohan yang makin merajalela di negerinya, yang juga adalah negeriku. Dan Amerika pun dengan tulus memunguti serpihan luka yang berhamburan di benuanya ini dan melindungi Neneng ini dan Neneng-Neneng lainnya dalam rengkuhan senyum tipis Lady Liberty yang bersahaja tapi sarat makna: Give me your tired, your poor…

Hakim kembali ke ruang sidang siap dengan keputusannya, atas nama negara Amerika. Kudengar suara lembut keibuannya yang tak pernah kubayangkan akan terdengar dari sidang pengadilan seperti ini ketika Neneng memberikan persetujuannya dijadikan anak negara. Neneng diberi hak untuk bersekolah dengan biaya negara, diberikan pekerjaan dengan gaji minimum, mendapat tempat tinggal, diberi jaminan pelayanan kesehatan seumur hidupnya. Dan Neneng diberi kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Terdengar dokter Mesir itu membisikkan puji syukur, “Allahu Akbar”

Sore itu, sementara menunggu taksi untuk kembali ke bandara udara, dengan hati menyesak rindu pada kampung halaman kuguratkan tulisan di lembar kertas kuning lagu yang kuingat sebagai penutup acara televisi di masa kecilku, “Tanah airku Indonesia . Negeri elok amat kucinta. Tanah tumpah darahku yang mulia. Yang kupuja sepanjang masa. Tanah airku aman dan makmur. Pulau kelapa yang amat subur. Pulau melati pujaan bangsa sejak dulu kala… ” dari tempat dudukku di tepian sungai di sudut One River View Square.

Dan Neneng, sekuntum melati bangsaku yang tak pernah hidup dalam negeri yang aman dan makmur itu kini jauh dari Indonesia, negeri elok yang hanya ada dalam lagu penutup acara di tivi itu. Hari ini dan hari esoknya bergantung pada belas kasih dan perlindungan negara ini. Ketika kulihat taksiku datang aku segera beranjak. Sekilas kuletakkan tanganku di marmer hitam di depan gedung pengadilan imigrasi itu. Dan bayangan wajah bercahaya Neneng yang berjilbab putih mengenakan toga dan merengkuh selembar diploma di tangannya, dengan latar belakang bendera Amerika – melintas di mataku yang mulai berembun.

Desember 17, 2007 at 12:31 pm 1 komentar


Kategori

Blog Stats

  • 2.684 hits